Bulan September 2019, tiba-tiba tembakau dan peralatan melinting rokok menghilang dari sejumlah gerai pemasaran online (marketplace) yang menjadi rujukan utama jual beli daring. Perangkat gadget tidak bisa lagi mengakses barang-barang itu lewat aplikasi.
Kalaupun dicari menggunakan kata ”tembakau”, yang keluar hanya kata-kata: ”Pencarian Terbatas. Produk yang kamu cari tidak tersedia di Android. Silahkan cari di desktop atau mobile web HP-mu.”
”Mulai 19 September 2019, produk tembakau, rokok elektrik, dan turunannya tidak lagi bisa dimunculkan pada seluruh aplikasi Android, termasuk Tokopedia versi Android,” tulis Tokopedia di aplikasinya. Pembeli hanya bisa melakukan pencarian produk tersebut melalui mobile site, IOs, dan desktop. Langkah ini juga dilakukan oleh Shopee, Bukalapak, dan marketplace lainnya.
Tindakan tersebut bisa saja merupakan kebijakan terbaru dari Google Play Store yang melarang aplikasi memfasilitasi penjualan produk tembakau dan turunannya lewat platform Android. Namun, mengapa dilakukan saat itu ketika kegairahan perokok untuk melinting sendiri mulai beranjak marak?
Di tengah pemakluman oleh sejumlah pedagang daring bahwa ini ada kaitannya dengan pajak, ada juga yang berpikir peristiwa ini terkait dengan kepentingan perusahaan rokok besar yang mulai gerah melihat gejala melinting sendiri yang mulai ”ngetren”.
Melinting rokok sendiri atau tingwe (linting dewe-Jawa) memang menjadi gejala yang kian marak dalam beberapa tahun belakangan ini, terlebih semasa resesi akibat pandemi. Gejala ini terlihat bukan saja pada kelompok perokok usia menengah, melainkan juga pada kalangan anak-anak muda.
Gerai-gerai tembako pun mulai banyak bermunculan di perkotaan. Tak jarang, mereka menjadi satu dengan warung kopi.
Apakah tingwe merupakan bentuk penyiasatan terhadap krisis, ataukah perlawanan terhadap rokok pabrik yang harganya kian melangit? Yang jelas, tingwe memang dapat mengirit hingga 80 pengeluaran pengeluaran untuk rokok.
Kenaikan harga rokok akibat melonjaknya cukai tembakau dan hasil turunannya memang cukup mengejutkan dan menjadi wacana yang cukup hangat di kalangan perokok. Kenaikan terakhir (2018) tercatat hanya 10 persen, tetapi tiba-tiba menjadi 23 persen pada 2020 dan ini menjadi kenaikan tertinggi atas cukai terhadap komoditas tersebut sepanjang satu dekade.
Harga jual rokok pun ditetapkan naik sebesar 35 persen. Kenaikan ini bertujuan mengendalikan dampak negatif dari konsumsi rokok, baik kesehatan maupun ekonomi masyarakat. Namun, bagi konsumen, hal itu mulai terasa mencekik.
Dari sisi pengiritan, memang logis kalau kemudian mulai banyak perokok yang beralih ke model tingwe karena pengeluarannya menjadi jauh lebih kecil untuk konsumsi rokok. Terlebih, di masa krisis akibat pandemi yang berkepanjangan seperti ini, tingwe menjadi penyiasatan yang rasional.
”Biasanya, saya sehari habis dua pak rokok yang harganya 17 ribu rupiah per bungkus. Artinya, tiap hari, pengeluaran saya setidaknya 34 ribu rupiah dan sebulan sekitar 1 juta rupiah. Namun, setelah saya melinting sendiri, paling sebulan habis setengah kilo tembakau, kira-kira habis sekitar 100 ribuan. Coba bayangkan, tiap bulan saya bisa ngirit 900 ribu!” kata Kelik (40), seorang pegawai swasta.
Sejak pandemi, perilaku tingwe cenderung berkembang karena didukung oleh tata kehidupan baru, new normal, yang menyebabkan banyak pekerjaan-pekerjaan dapat dilakukan di rumah (work from home/WFH). Waktu yang biasanya tersita untuk perjalanan berangkat dan pulang kantor dapat dipakai untuk mengerjakan hal-hal di luar urusan kantor, termasuk hobi dan leizure (kegiatan pengisi waktu luang). Tadinya, sigaret pabrik menjadi solusi praktis untuk perokok yang sibuk dengan pekerjaan di luar rumah, sekarang kebutuhan itu dapat dilakukan dengan tingwe sembari kerja di rumah.
Awalnya pengiritan dan coba-coba, tetapi lama-lama menjadi sebuah tren gaya baru. Jika dikaitkan dengan ideologi, bisa juga tingwe merupakan gerakan pembebasan atas hegemoni pabrik yang selama ini mencekoki mereka dengan rasa yang sudah serba paten, semuanya ditentukan. Terlebih, seorang perokok pada umumnya cenderung fanatik pada perusahaan dan merek tertentu.
Tingwe membebaskannya dari belenggu rasa yang dideterminasi pabrikan. ”Indonesia memiliki kekayaan ribuan jenis tembakau, tetapi mengapa pengalaman rasa seseorang harus didikte oleh pabrik rokok?” cetus Harno (35), seorang penggemar rokok linting.
Celetukan Harno memang memiliki dasar yang sangat kuat. Indonesia memiliki kekayaan jenis tembakau yang luar biasa. Daerah penghasil tembakau tersebar mulai dari Gayo (Aceh) hingga Wamena (Papua). Selain varietas-varietas unggulan yang memiliki nilai ekspor seperti virginia dan tembakau cerutu, tembakau-tembakau lokal juga memiliki variasi rasa yang berbeda-beda, tergantung lokasinya.
Variasi tembakau
Hasil kajian oleh Matnawi (Budi Daya Tembakau Bawah Naungan, 1997) dan Amelia AL (2011) menggambarkan variasi tembakau dapat dilihat dari klasifikasi yang dapat dilakukan untuk memetakan jenis tembakau. Variasi itu bisa dilihat berdasarkan iklim penanaman, bentuk fisik, metode pengeringannya, dan tempat penghasilnya.
Berdasarkan iklim, jenis tembakau Indonesia dapat dibagi dua. Pertama, tembakau musim kemarau/Voor-Oogst (VO) yang ditanam pada saat musim hujan dan dipanen pada awal kemarau. Jenis ini dipakai untuk membuat rokok putih dan rokok keretek, misalnya tembakau virginia, white burley, Lumajang, dan tembakau rakyat pada umumnya.
Kedua, tembakau musim penghujan/Na-Oogst (NO) yang ditanam pada akhir musim hujan dan dipanen pada akhir kemarau. Ini adalah jenis tembakau yang dipakai untuk bahan dasar membuat cerutu ataupun cigarillo, misalnya tembakau Deli, Vorstenlanden, dan Besuki NO.
Berdasarkan bentuk fisiknya, tembakau di Indonesia dipasarkan dalam dua wujud, yaitu rajangan dan krosok. Tembakau rajangan (slicing type) adalah tembakau yang dirajang terlebih dahulu sebelum dipasarkan. Biasanya juga dilakukan proses pengeringan dengan bantuan sinar matahari sebelum dijual. Tembakau rajangan juga dapat dibedakan antara broad cut (rajangan kasar dan sedang) dan fine cut (rajangan halus).
Tembakau krosok (leaf type) adalah daun tembakau yang dipasarkan dalam bentuk lembaran utuh, setelah melalui proses pengeringan. Harga tembakau krosok cenderung lebih mahal daripada tembakau rajangan. Sebab melalui tahapan yang panjang sebelum siap dipasarkan, mulai pengeringan hingga sortasi.
Berdasarkan metode pengeringannya, tembakau dibedakan menjadi empat jenis, yaitu air cured, flue cured, sun cured, dan fire cured.
Air cured merupakan proses pengeringan daun tembakau menggunakan aliran udara bebas (angin). Metode pengeringan ini memerlukan bangunan khusus (curing shed). Pengeringan dengan meode ini akan menghasilkan tembakau dengan kadar gula rendah, tetapi tinggi nikotin.
Flue cured adalah proses pengeringan daun tembakau dengan mengalirkan udara panas melalui pipa (flue) untuk mengurangi kelembaban secara perlahan selama 24-60 jam untuk menghilangkan kadar air secara cepat. Tembakau yang tergolong jenis ini adalah tembakau Virginia FC.
Sun cured adalah proses pengeringan dengan menggunakan sinar matahari secara langsung (penjemuran). Proses penjemuran untuk tembakau rajangan berlangsung selama 2-3 hari, sedangkan tembakau krosok selama 7-10 hari. Penjemuran cenderung akan mengurangi kadar gula dan nikotin.
Fire cured adalah proses pengeringan daun tembakau dengan cara mengalirkan asap dan panas dari bawah susunan daun tembakau. Asap diperoleh dari pembakaran kayu (umumnya akasia) yang dicampur dengan ampas dan bonggol tebu untuk menghasilkan aroma yang harum dan manis. Pengeringan dengan meode ini akan menghasilkan tembakau dengan kadar gula rendah, tetapi tinggi nikotin.
Di Indonesia, tembakau yang baik (komersial) hanya dihasilkan di daerah-daerah tertentu. Kualitas tembakau sangat ditentukan oleh lokasi penanaman dan pengolahan pascapanen. Akibatnya, hanya tembakau dari beberapa tempat yang terkenal dan memiliki pasar yang luas.
Berdasarkan tempat penghasilnya, dikenal Tembakau Deli, Tembakau Temanggung, Tembakau Vorstenlanden atau Tembakau Jawa (Yogya-Klaten-Solo), Tembakau Besuki, Tembakau Madura, Tembakau Lombok Timur, Tembakau Bugis, dan lain-lain.
Dengan variasi tembakau yang dihasilkan Indonesia, seorang pelinting mandiri atau tingwe dapat memiliki pengalaman rasa yang begitu banyak. Eksplorasi rasa akan semakin bertambah jika dikaitkan dengan bahan rempah yang melimpah ruah dari Sabang sampai Merauke. Selama ini hanya cengkih yang dipakai sebagai campuran untuk membuat sigaret keretek, padahal bahan-bahan rempah lain memiliki keunikan aroma yang menantang bagi penjelajah rasa.
Penyumbang cukai terbesar
Indonesia merupakan produsen tembakau terbesar keenam di dunia. Di ASEAN, jumlah perokok di Indonesia berada di urutan teratas (65 juta orang). Sebanyak 33,8 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas merokok. Dengan sumber bahan rokok yang melimpah dan pasar yang demikian luas, tidak heran jika perusahaan-perusahaan rokok menjadi raksasa-raksasa ekonomi, penyumbang terbesar penerimaan cukai negara.
Pendapatan cukai hasil tembakau (CHT) Indonesia tahun 2020, misalnya, mencapai 171,9 triliun rupiah. Jumlah ini mencakup 96,7 persen dari total penerimaan negara dari semua jenis cukai. Cukai untuk minuman mengandung ethil alkohol, misalnya, hanya mendatangkan penerimaan sebesar 3 persen.
Dengan produksi rokok Indonesia yang telah mencapai 298 miliar batang (tahun 2020), tidak heran jika nilai ekonomis rokok pabrik memang mencengangkan. Jika sebatang rokok dihargai Rp 1.500, total nilai ekonomi rokok mencapai 447 triliun rupiah. Nilai sesungguhnya bisa saja jauh lebih besar mengingat patokan cukai rata-rata komoditas ini yang 23 persen per batang telah menghasilkan 171,9 triliun rupiah.